Wednesday, September 16, 2009

semak-semak(in)

Malam ini bulan hampir bundar.
Tapi cahayanya tidak berpendar.

Jempol kakiku mengintip dari balik stoking hitam yang tercabik tak sengaja.
Mengejek.
Menertawakan.

Sepuluh menit aku termenung.
Dari merasa sedih, tolol, sampai akhirnya tertawa sendiri.
Batasan realita jadi rancu.
Semua kacau.

Tadi malam mimpiku bernuansa hitam dan biru.
Dipenuhi kostum yang meneriakkan kekuatan kaum feminis
dan hak tiga belas senti yang mendominasi.
Tapi mimpi itu layaknya embun.
Menguap setelah dicium matahari.
Sekarang digantikan sampah dan kaleng kosong.

Rasanya, hai teman, sama seperti cinta monyet semasa SMP.
Tiket nonton disimpan rapi.
Kuperhatikan cara ia berbicara dan tertawa.
Sampai hafal dengan kebiasaannya berkata-kata.
Jantung berdegup keras membayangkan dirinya.
Berhari-hari ia menetap di mimpiku.

Dari semua laki-laki di luar sana, mengapa dia?
Dia, yang sekarang tidak mungkin dirasa, diraba, atau dicium.
Dia, yang logika berpikirnya sukses mematahkan logika dan moralku.
Sampai-sampai aku harus membujuk otak untuk berteman dengan hati.
Kalau mereka rujuk, aku tidak jadi mati.

Menginginkan sesuatu yang tidak mungkin itu sama dengan
menentang salah satu dari sepuluh perintah Allah.
Atau memang inilah yang namanya hidup?

Jari kelingkingnya lebih besar dari jari tengahku.
Tapi jempolku sama panjang dengan kelingkingnya.

Ia mungkin tidak ingat.
Tapi aku tahu aku bisa menggambar siluet mukanya dengan mata tertutup,
kalau aku mau.

No comments:

Post a Comment